RAMADHAN 2022 tinggal berhitung hari. Mulai tepatnya, bisa beda berdasarkan penglihatan langsung atas hilal (rukyat) atau berdasarkan perhitungan astronomi (hisab), sekalipun tidak selalu beda di tiap tahun.
Pemerintah dan Nahdlatul Ulama (NU), misalnya, cenderung menunggu hasil rukyat. Adapun Muhammadiyah sudah menetapkan Ramadhan 1443 Hijriah dimulai pada 2 April 2022.
Baca juga: Muhammadiyah Tetapkan 1 Ramadhan 1443 H Jatuh pada 2 April 2022, 1 Syawal 2 Mei 2022
Di luar ritual ibadah, Ramadhan dan Lebaran di Indonesia juga selalu menjadi faktor pendorong pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Pandemi yang membatasi interaksi dan mobilitas pun tak cukup menggoyang pakem ini, sekalipun dimensi dan nuansanya berbeda.
Kompas.id mengupas cukup dalam fenomena ini antara lain dalam tulisan Fokus Menjaga Tren Pemulihan Ekonomi Setelah Lebaran. Di dalamnya tercakup juga indikator kinerja penjualan eceran yang secara berkala diterbitkan Bank Indonesia.
Tentu, siapa pun yang sudah punya atau berminat usaha dapat menggunakan momentum Ramadhan dan Lebaran. Dari jualan takjil hingga hadiah dan parsel lebaran, tak ada larangan.
Lalu, apa yang harus disimak dan dilakukan terkait Ramadhan dan Idul Fithri 2022?
Pertanyaan ini enggak cuma buat yang bikin dan jualan takjil setiap menjelang waktu buka puasa saja ya. Punya barang-barang dan layanan jasa yang di hari lain ada, tak dilarang juga jualan menggunakan momentum Ramadhan dan lebaran.
Untuk yang belum punya gambaran langkah usaha dan jualan menggunakan momentum Ramadhan dan Lebaran pada 2022, Google berbagi insight buat inspirasi dan persiapan langkah.
Ini terutama terkait laju digitalisasi yang melesat tanpa ada preseden sebelum pandemi, serta soal waktu yang tepat untuk mulai promosi dan jualan menggunakan momentum Ramadhan dan Lebaran. Silakan lanjut gulirkan layar.
Pada 2021, hingga paruh pertama saja Indonesia mencatatkan tambahan 21 juta pengguna baru layanan digital, dari total 60 juta pengguna baru selama pandemi sejak 2020. Dari demografi, 72 persen pangsa pasar ini tidak berasal dari area perkotaan.
Artinya, pasar barang dan jasa sekarang punya peluang jauh menembus batas wilayah dan jarak ketika dipasarkan juga secara online, tak harus melulu mengandalkan pasar perkotaan.
Riset Google bersama Temasek dan Bain Company menyebutkan bahwa 96 persen konsumen menggunakan layanan digital dan 99 persen dari mereka berencana terus menggunakan layanan digital.
Pengguna digital sejak sebelum pandemi pun didapati menggunakan layanan digital 3,6 kali lebih banyak selama pandemi.
Proyeksi besarnya, pasar digital Indonesia pada 2025 diperkirakan bernilai 146 miliar dollar AS, setara sekitar Rp 2.100 triliun menggunakan kurs Rp 14.386,5 per dollar AS seperti dilansir Bloomberg sebagaimana diakses pada Senin (7/3/2022) pagi.
Pada 2021, nilai pasar digital Indonesia ditaksir bernilai 70 miliar dollar AS, setara Rp 104 triliun menggunakan kurs yang sama. Dari nilai ini, 52 persen di antaranya disumbang oleh pasar e-commerce.
Riset yang sama dari Google dan kawan-kawan ini mendapati pula, 28 persen pelaku usaha lewat ranah digital di Indonesia mengakui bahwa platform digital-lah yang membuat mereka bisa bertahan sejauh ini melewati pandemi. Demi menjaga profit, rata-rata pelaku usaha ini mengaku menggunakan dua platform digital.
Yang patut juga dicatat, 98 persen pelaku usaha lewat platform digital sudah menerima pembayaran digital, 59 persen menyediakan opsi cicilan digital, dan 69 persen dari mereka berencana meningkatkan penggunaan solusi digital marketing untuk mendorong kinerja usaha dalam lima tahun ke depan.
Kehadiran layanan online tak serta-merta boleh meniadakan layanan offline. Toko atau kantor usaha berbentuk fisik tetap punya pengaruh bagi pengambilan keputusan pelanggan. Ini soal ekspektasi bisa dipercaya atau tidaknya penyedia layanan.
Masalah rasa percaya itu terbaca juga dari tren pencarian official store dari brand yang punya tempat usaha offline. Angka pencariannya terpantau mencapai 21 persen. Pencarian menggunakan kata kunci "online terpercaya" juga terpantau mencapai 40 persen.
Laporan Google dan kawan-kawan menyatakan pula bahwa kepercayaan adalah aset terpenting setiap usaha yang mau tetap hidup dan bertumbuh di era digital. Pelanggan menuntut transparansi dan keotentikan dari setiap tawaran barang dan jasa.
Terlebih lagi, riset Google dan kawan-kawan ini pun mendapati ada konsumen yang masih punya kecenderungan memilih layanan offline di tengah arus besar digitalisasi dan layanan online.
Pelajarannya, bila alasan para pelanggan yang memilih layanan offline ini bisa dijawab oleh layanan online, mengapa tidak?
Bagaimana pun, layanan online diakui oleh mereka yang tercakup dalam riset tersebut memberikan keamanan lebih selama pandemi, menyediakan variasi pilihan produk atau layanan lebih banyak, dan harga pun bisa lebih murah karena ada beragam promo.
Mengutip Edelman, laporan Google dan kawan-kawan memberikan catatan tambahan bahwa kepercayaan atas layanan dan kualitas perusahaan punya kasta lebih tinggi daripada kecintaan pelanggan terhadap merek atau brand perusahaan.
Di antara yang bisa dilakukan brand untuk membangun rasa percaya konsumen adalah memastikan privasi pelanggan terlindungi dalam seluruh rangkaian proses transaksi.
Ini penting karena pelanggan yang terpuaskan cenderung dengan senang hati berbagi rekomendasi tentang layanan memuaskan ke lingkungan yang mereka percaya, termasuk jejaring usaha.
Google mendaku, pengguna kanal videonya, YouTube, punya kecenderungan berbelanja 34 persen lebih banyak dibanding non-pengguna internet. Google mengklaim juga, layanan videonya itu turut mendorong 89 persen penjualan offline.
Dari risetnya, Google dan kawan-kawan menegaskan bahwa sukses jualan untuk momentum Ramadhan dan Lebaran harus dimulai sejak sebulan sebelum bulan puasa dimulai. Namun, beda produk atau jasa yang ditawarkan, bisa pula bergeser lini masanya. Berikut ini data tren pencarian pada Ramadhan 2021:
Buat data tambahan, Google mendapati pula sejumlah catatan seperti berikut ini:
Dari risetnya, Google dan kawan-kawan menyebut bahwa konsumen digital di Indonesia cenderung menelisik produk atau layanan incaran demi mendapatkan keyakinan sudah membuat keputusan belanja yang tepat.
Dalam prosesnya, 80 persen konsumen mengaku mereka butuh sumber informasi terpercaya untuk mengklik "beli", sementara 94 persen masih merasa perlu mencari sebanyak mungkin informasi relevan untuk membuat keputusan itu.
Pencarian lewat mesin pencari adalah pilihan logis konsumen saat ini. Tantangannya bagi yang mau usaha atau jualan adalah menempatkan brand, produk, atau layanan menjadi yang tampak di mata konsumen digital.
Apakah perusahaan Anda adalah yang ditemukan dan kemudian dipilih untuk bertransaksi oleh konsumen digital? Pilihan ada pada Anda.
Sesiap apa perusahaan Anda menjawab perubahan perilaku dan kebutuhan konsumen di era digital ini, baik menggunakan jalur online, offline, atau kombinasi keduanya?
Naskah: Kompas.com/Palupi Annisa Auliani
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.